Oleh) Dr. Joko Santoso, M.Hum
Dalam buku Situated Literacies, Barton dan Hamilton (2000) memberikan konsep penting untuk memahami literasi sebagai praktik sosial. Mereka menyatakan bahwa literasi dapat dimaknai sebagai serangkaian praktik sosial yang bisa dirunut dari berbagai peristiwa di mana teks tertulis terlibat di dalamnya. Pernyataan ini kemudian dikuatkan oleh Pahl dan Roswell (2005) yang mengatakan bahwa literasi bukanlah seperangkat keterampilan netral yang kita miliki dan kembangkan melalui pengajaran dan pembelajaran bahasa. Namun, literasi selalu tersituasi di mana saja, dan terlebih literasi tidak dapat dipisahkan dari praktik.
Oleh karena pandangan ini, dalam memahami peran literasi bagi masyarakat diperlukan adanya kesadaran dan pengertian semua pihak, bahwa literasi adalah praktik sosial yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Konsep yang mendasari gagasan literasi sebagai paktik sosial dalam pandangan tersebut ialah praktik literasi dan peristiwa literasi. Praktik literasi adalah cara atau kebiasaan umum untuk menggunakan bahasa tertulis yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa literasi adalah segala kegiatan di mana literasi menjadi bagian di dalamnya.Baca Juga: Peran Besar Polisi Ini Ambil Baju Dinas Brigadir J hingga Minta Hapus Foto Hasil Otopsi
Sederhananya, praktik literasi merupakan segala aktivitas yang dilakukan dengan literasi. Sedangkan peristiwa literasi bisa dimaknai sebagai peristiwa atau kejadian apapun yang bisa diamati, di mana sebentuk teks hadir di dalamnya. Praktik literasi lebih abstrak, karena melibatkan nilai, sikap, perasaan, dan hubungan sosial. Sementara itu, peristiwa literasi merupakan komponen dari praktik literasi yang bisa dilihat dan diamati secara empiris.
Dengan demikian, banyak peristiwa literasi dalam masyarakat merupakan kegiatan yang teratur dan dilakukan berulang-ulang, dan karenanya membentuk pola hidup. Beberapa peristiwa literasi berupa aktifitas rutin yang menjadi bagian dari prosedur formal atau tuntutan suatu institusi tertentu, misalnya kantor pemerintah, sekolah, bank dan berbagai layanan publik lainnya. Praktik literasi dibentuk oleh institusi sosial dan hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Praktik literasi juga dipengaruhi oleh nilai budaya, kearifan lokal, etika, peraturan, norma dan agama. Dalam skala yang lebih luas literasi sebagai praktik sosial membentuk budaya literasi sebuah bangsa. Sebaliknya, praktik literasi memiliki tujuan tertentu dan berkaitan erat dengan interaksi sosial dan ekosistem budaya secara umum.
Literasi sebagai praktik sosial ini bertentangan dengan pandangan otonomis. Pandangan otonomis memaknai membaca dan menulis sebagai proses netral, bebas konteks, dengan motivasi utama untuk mencapai status ‘melek literasi’ di masyarakat (Goody, 1977). Status ini mendorong perlunya literasi diajarkan sebagai rangkaian ketrampilan untuk menyusun dan membedah teks (semula cetak, kemudian saat ini berkembang menjadi digital). Model otonomi banyak diusung kalangan pendidikan dan psikologi, yang cenderung melihat literasi sebagai proses kognitif.Baca Juga: Bantu Korban Gempa Cianjur, Resimen Mahasiswa Kirim Satu Peleton Relawan
Sebaliknya, literasi sebagai praktik sosial berpendapat bahwa proses membaca dan menulis terjadi dalam konteks hubungan kekuasaan yang menempatkan manusia di posisi berbeda di masyarakat. Pandangan ini dinamakan model ideologis (Street & Lefstein, 2007). Literasi sebagai praktik sosial merupakan produk dari ideologi yang berkembang di masyarakat. Dalam pandangan ideologis, literasi tidak hanya sekedar sebuah ketrampilan teknis yang memungkinan seseorang bisa membaca dan menulis. Pandangan ideologis tidak menampik pentingnya peran literasi dalam membentuk transformasi kognitif dan sosial seseorang secara lebih kontekstual.
Transfomasi Berbasis Inklusi Sosial
Transformasi ini merupakan suatu pendekatan pelayanan perpustakaan yang berkomitmen meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat pengguna perpustakaan. Perpustakaan yang bertransformasi memfasilitasi masyarakat untuk mengembangkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Untuk itu, perpustakaan dirancang dan dijalankan agar berdaya guna maksimal bagi masyarakat. Perpustakaan menjadi media untuk menemukan solusi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat.
Tujuan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial adalah untuk meningkatkan literasi informasi masyarakat berbasis teknologi informasi dan komunikasi, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat berbasis pengetahuan, memperkuat peran dan fungsi perpustakaan, agar tidak hanya sekadar tempat penyimpanan dan peminjaman buku, tapi menjadi wahana pembelajaran sepanjang hayat dan pemberdayaan masyarakat.