Oleh: Gede Sandra
Politik uang merajarela. Dari tingkat pemilihan umum Kepala Desa, Bupati, Gubernur, hingga Presiden, politik uang memainkan peranan sangat vital. Masyarakat sudah terlatih untuk menerima ‘serangan fajar’, lembar pecahan Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu, hingga Rp 200 ribu dibagikan beberapa jam biasanya menjelang Pemilihan Umum kepada masyarakat pemilih.
Jelas nilai yang sangat kecil dibandingkan pertaruhan masa depan si pemilih. Ambil ilustrasi pemilu legislatif. Dengan memilih partai politik yang benar, bila partai politik tersebut berkuasa para pemilih yang berstatus pengangguran dan miskin bisa dapat bantuan sosial setiap bulan Rp 500 ribu hingga 1 juta. Karena ideologi welfare state yang diperjuangkan partai tersebut memang memaksa mewujudkan sistem jaminan sosial semacam itu, misalnya.
Jelas secara hitung-hitungan jauh lebih menguntungkan dikasih Rp 1 juta setiap bulan selama 5 tahun, dibandingkan dengan menerima Rp 200 ribu tapi hidup semakin sulit 5 tahun ke depan. Tapi bukan logika jangka agak panjang ini yang dipilih masyarakat, melainkan yang dipilih adalah logika pragmatis. Dapat uang secepatnya, tidak peduli nasib ke depan.
Sehingga partai yang bercita-cita negara kesejahteraan tersebut tidak dipilih. Karena terlihat sebagai partai kecil, baru, tidak kaya, dan tidak royal pada pemilih. Partai tersebut tidak main politik uang sehingga tidak disukai rakyat. Rakyat pemilih lebih suka mencoblos partai politik yang memberikan mereka ‘serangan fajar’.
Seidealis apapun, namanya orang Indonesia kalau sudah menerima uang ya pasti akan tidak enak hati bila tidak membalas budi. Karena ‘tidak enak’ itulah, calon yang partainya banyak menebar pecahan rupiah menjelang Pemilu pasti akan dicoblos. Apalagi bila perut rakyat keroncongan, ya pasti duit berapapun akan disambar. Ironi memang. Semakin banyak yang miskin, peluang menang partai penebar ‘serangan fajar’ semakin besar di wilayah itu. Kebetulan memang masih banyak yang miskin di Indonesia.
Kemudian Partai penebar ‘serangan fajar’ menang. Dibuatlah oleh mereka berbagai perundangan yang menyulitkan hidup kelas pekerja, petani, dan masyarakat lainnya, serta merusak lingkungan hidup. Yang miskin tambah miskin, upah buruh mengalami penurunan, petani menurun kesejahteraanya, nelayan tambah miskin, anak-anak kekurangan gizi. Inilah dilematika kemiskinan. Pusarannya seakan tiada berakhir. Orang miskin seolah selalu diarahkan untuk memilih politisi yang akan semakin memiskinan dirinya di masa depan.
Tapi yang kaya tambah kaya. Kebetulan sebagian yang bertambah kaya ini juga adalah pejabat pemerintah yang berkuasa. Keluarga Presiden dan Menteri sontak menjadi kaya luar biasa setelah berkuasa. Ketua-ketua partai politik pemenang pemilu pun semakin kaya. Partai politik sudah diperlakukan seperti bisnis. Tanda tangan restu ketua partai ada harganya. Dukungan partai terhadap seorang calon ada harganya.
Inilah politik uang di tingkatan elit. Dan harganya politik uang di tingkat elit sangat mahal. Bisa dari ratusan juta rupiah di tingkat kota/kabupaten, hingga ratusan miliar di tingkat nasional. Ketua-ketua partai politik mendadak menjadi orang-orang yang kaya dan juga orang yang semakin kaya. Mereka tidak pernah mencalonkan diri sebagai capres, tetapi selalu mendagangkan partainya untuk mendukung capres yang dibiayai orang-orang kaya.
Artikel Terkait
Gede Sandra: Resesi Datang, Kekuasaan Akan Sulit Bertahan
Gede Sandra: Saya Ragukan Kemampuan Sri Mulyani
Gede Sandra: Sebelum Covid Ekonomi Indonesia Sudah Buruk
Ekonomi 15 Negara Dunia Tumbuh Meksipun Belum Ada Vaksin, Gede Sandra: Menkeu Salah Lagi