Oleh : Joko Santoso
HARIANTERBIT.com - Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet tertinggi di dunia. Meski begitu, Indonesia memiliki tingkat penetrasi internet yang relatif rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia. Pada Januari 2022, terdapat 204,7 juta orang pengguna internet aktif dari total populasi Indonesia yang berjumlah lebih dari 270 juta. Namun, karena terdapat berbagai kebijakan pemblokiran konten dan pembatasan media, peringkat Indonesia hanya sebagian bebas, dengan 49 poin indeks, dalam Indeks Freedom House 2022, yang memeringkat negara menurut tingkat kebebasan internetnya. Namun demikian, internet telah merevolusi kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat Indonesia dan menyatu dengan baik dalam aktivitas sehari-hari mereka.
Mayoritas penduduk Indonesia mengakses internet secara rutin dari ponsel mereka. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengguna gawai terbesar di Asia. Dengan meningkatnya penetrasi internet seluler di Indonesia, telah terjadi peningkatan permintaan akan harga paket data yang terjangkau, jangkauan yang lebih luas, dan kualitas layanan yang lebih baik. Oleh karena itu, penyedia internet Indonesia telah mengajukan rencana harga paket data yang menarik serta peningkatan layanan seluler berorientasi data sebagai bagian dari strategi mereka untuk menarik lebih banyak pelanggan.Baca Juga: Jokowi Minta Namanya Tak Ditarik Urusan Pilpres, Ngaku Sering Kena Klaim
Selain keunggulan internet seluler, langganan fixed broadband di Indonesia mengalami tren peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan tingkat penetrasi broadband di rumah tangga. Pada tahun 2021 atau saat berjangkitnya pandemi Covid-19, segmen ini mencatatkan peningkatan lebih dari satu juta pendaftaran fixed broadband baru dibandingkan tahun sebelumnya.
Internet telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat Indonesia. Secara khusus, internet telah menjadi alat penting untuk informasi, komunikasi, kegiatan bisnis, dan hiburan. Hingga kuartal ketiga 2021, rata-rata waktu harian yang dihabiskan menggunakan internet di Indonesia adalah sekitar 8 jam 36 menit; sebagian besar darinya dihabiskan untuk media sosial dan streaming. Internet juga telah mengubah cara berbagai produk didistribusikan ke konsumen Indonesia. Selama dekade terakhir, e-niaga (e-commerce) semakin populer, dengan jumlah pengguna e-niaga diproyeksikan mencapai 221 juta pada tahun 2025. Selain itu, pendapatan e-niaga ritel diproyeksikan akan melampaui 56 miliar dolar AS pada tahun 2025, lebih dari enam kali lipat dibandingkan dengan tahun 2017 (statista.com, 29/3/23).
Disrupsi Digital, Pandemi dan Penerbitan Buku
Pertanyaan utama dari peningkatan pengunaan internet dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat Indonesia, apakah juga mencerminkan akses terhadap bahan bacaan digital. Hal ini penting untuk dicermati dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas Pendidikan serta penguatan literasi masyarakat Indonesia. Mario Vargas Llosa, seorang novelis, penulis dan juga politikus dari Peru yang mendapat hadiah Nobel bidang sastra tahun 2010 mengatakan; “seseorang yang tidak membaca, atau membaca sedikit, atau hanya membaca sampah, adalah orang dengan hambatan: sesungguhnya dia dapat berbicara banyak, tetapi dia akan berbicara sedikit, karena perbendaharaan katanya kurang dalam sarana ekspresi diri. Ini bukan hanya batasan verbal. Ini juga merupakan batasan dalam kecerdasan dan imajinasi. Ini adalah kemiskinan pemikiran, karena alasan sederhana bahwa ide, konsep yang melaluinya kita memahami rahasia kondisi kita, tidak ada terpisah dari kata-kata.” Demikian pentingnya membaca dan ketersediaan bahan bacaan, khususnya buku, dalam memperkuat literasi masyarakat.Baca Juga: Jokowi Pusing 2 Minggu Gegara soal Pembatalan Piala Dunia U20: Gara-gara bola, Pusing Betul!
Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Pustaka, Perpustakaan Nasional mencatat pada 2021 terdapat 6.502 penerbit di Indonesia. Dari 34 provinsi yang ada, hanya Bangka Belitung yang tidak memiliki penerbit. Namun, setahun berikutnya jumlah usaha penerbitan Indonesia naik menjadi 10.159. Data ini menunjukkan bertambahnya jumlah penerbit pasca pandemi Covid-19 sebesar 56.24%.
Fenomena pertumbuhan penerbit ini selaras dengan pengakuan para penerbit buku yang tergabung dalam IKAPI. Mereka mengatakan bahwa industri perbukuan nasional dapat mencatat rebound atau pulih setelah 2 tahun terpukul akibat pandemi Covid-19. Kinerja para penerbit buku diproyeksikan tumbuh 10%—20% sepanjang 2022 (Bisnis, 15/5/22). Perlu dicatat bahwa pada masa pandemi, 59,1% penerbit hanya mampu mencapai kurang dari 50% dari target yang ditetapkan. Ada sekitar 4% penerbit yang mampu memenuhi target bahkan lebih dari yang mereka tetapkan. Hanya ada 18,9% penerbit yang mampu mencapai kisaran 51%—60% dari target yang ditetapkan. Nampak, selama pandemi Covid-19 kinerja mayoritas penerbit mengalami penurunan.
Meskipun jumlah penerbit dan penjualan buku mengalami kenaikan, namun Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Pustaka, Perpustakaan Nasional dalam tahun 2022 mencatat jumlah pengajuan ISBN mengalami penurunan. Data jumlah terbitan buku di Indonesia 2022 sebanyak 98.672 judul dan 107.856 nomor ISBN. Angka ini turun cukup tajam jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana jumlah terbitan buku 147.404 judul dan 159.330 nomor ISBN. Dengan demikian, kemungkinan para penerbit menjual dan menghabiskan stok terbitan yang telah ada di tahun 2022.
Di tengah makin tingginya penggunaan internet di Indonesia, mayoritas penerbit Indonesia belum sepenuhnya masuk dalam pasar digital. Berdasarkan Riset Dampak Covid-19 terhadap Industri Penerbitan Buku di Indonesia (IKAPI, 2021), ternyata hanya 56 dari 127 perusahaan penerbitan yang sudah merambah produk buku digital sebagai komoditas bisnis. Sedang 71 penerbit lainnya masih setia dengan produk buku cetak. Kondisi ini amat dipengaruhi oleh kemampuan penerbit dalam memasuki perniagaan digital. Sebanyak 44,1% penerbit telah menggunakan pemasaran digital sebagai upaya pemasaran produk, tetapi belum mendapatkan hasil yang memadai. Sekitar 24,4% penerbit baru merintis penjualan melalui pemasaran digital. Sebesar 20% penerbit lainnya bahkan belum pernah mencoba memasarkan produk melalui pemasaran digital.Baca Juga: Tren Pekerjaan di Dunia Digital, Kaum Muda Harus Siap
Meskipun penggunaan internet di Indonesia merangsek naik, hanya sedikit penerbit Indonesia memanfaatkan penjualan online. e-Niaga makin populer dalam pemasaran produk di Indonesia, namun hanya sekitar 4% dari penerbit yang merasakan kontribusi signifikan dari penjualan produk secara online. Adapun 82,7% baru merasakan kurang dari 10% kontribusi penjualan online terhadap omzet pemasaran. Tak pelak penerbit harus menempuh dua metode penjualan yaitu daring dan luring. Penjualan daring dilakukan melalui sejumlah marketplace, sedangkan penjualan luring melalui toko buku, komunitas, dan penulis yang acap kali lebih mengerti segmen pasar bukunya.
Berdasarkan sumber data yang sama di atas, format tercetak masih menjadi pilihan utama penerbit buku Indonesia. Tersedia pilihan dalam format media buku yang diproduksi penerbit, terdiri atas buku cetak dan digital. Namun, secara total penjualan buku digital di Indonesia hingga saat ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan penjualan buku cetak. Rendahnya penjualan buku digital di Indonesia ini ditengarai karena tradisi membaca buku cetak telah terbentuk selama ratusan tahun. Hal ini mendukung eksistensi pangsa buku cetak tetap unggul di tengah gempuran gadget dan media digital. Tegasnya, masih banyak pembaca yang merasa lebih nyaman membaca dalam format buku cetak.
Peran distributor sangat penting dalam membantu buku dari penerbit untuk masuk ke sejumlah toko buku. Dalam pemasaran buku, pelaku usaha penjualan buku atau toko buku telah menjadikan kombinasi saluran distribusi daring dan luring sebagai keniscayaan strategi untuk bertahan di tengah terpaan keras disrupsi digital. Adaptasi di tengah kemajuan teknologi digital membuat pemilik toko buku di seluruh Indonesia, dari yang berskala kecil hingga besar, mulai melirik dan mengandalkan penjualan buku daring sembari tetap mempertahankan gerai fisik. Dengan dukungan internet yang makin masif, penjualan secara daring menjadi saluran yang paling banyak digunakan penerbit buku pada masa pandemi untuk memasarkan buku, yakni 27,6%. Penjualan secara langsung menduduki peringkat dua, yakni 24,4%. Pada peringkat tiga distribusi pada toko buku besar dan kecil (21,3%) dan memanfaatkan komunitas (11%) dan gabungan dari saluran penjualan yang tersedia pada peringkat terakhir (Bisnis, 15/5/22). Pilihan jalur penjualan perusahaan penerbitan melalui pemasaran digital saat ini dengan memanfaatkan lokapasar (marketplace) dan akun media sosial resmi penerbit menjadi pilihan yang paling banyak digunakan.Baca Juga: Ruang Ngaji Ajak Umat Islam Khatam Al-Qur'an di Bulan Puasa Ini