Indonesia Bukan Negara Sejahtera

- Jumat, 24 Maret 2023 | 13:05 WIB

Oleh: Gede Sandra

(Sarjana untuk Indonesia)

Gambar di atas diambil dari laporan World Inequality Report tahun 2022. Sumbu tegak adalah porsi pendapatan, sumbu mendatar adalah periode waktu tahun 1900 saampai 2021 Grafik merah mewakili porsi pendapatan 10 persen masyarakat terkaya. Grafik biru mewakili porsi pendapatan 50 persen orang kebanyakan. Garis jingga/oranye sengaja ditambahkan untuk menandai awal masa pemerintahan Jokowi. (link: https://wir2022.wid.world/www-site/uploads/2023/03/D_FINAL_WIL_RIM_RAPPORT_2303.pdf

Ketimpangan sejak Hindia Belanda hingga Jokowi

Pada tahun 1900, zaman Hindia Belanda, 10 persen orang kaya menguasai 43 persen pendapatan. Lima puluh persen orang kebanyakan menguasai 18 persen pendapatan.

Menjelang kemerdekaan Republik di tahun 1940-an, saat perang Dunia II, ketimpangan pendapatan di cikal bakal Negara Indonesia semakin tajam. Saat itu 10 persen orang terkaya menguasai 49 persen pendapatan, sementara 50 persen rakyat hanya menguasai 16 persen pendapatan.

Kemerdekaan, kemudian 20 tahun pemerintahan Sukarno (1945-1965), berhasil mengurangi ketimpangan pendapatan. Porsi pendapatan yang dikuasai 10 persen orang terkaya turun menjadi 43 persen (sama seperti tahun 1900) sedangkan 50 persen rakyat naik porsi pendapatannya menjadi 18 persen.

Pemerintahan Suharto, selama 16 tahun pertama (1966-1982) sukses mempertahankan struktur pendapatan yang mirip peninggalan era Sukarno, tapi kemudian 16 tahun kedua (1982-1998) ketimpangan semakin tajam. Porsi pendapatan untuk 10 persen orang terkaya mencapai 50 persen dari total pendapatan, sementara porsi untuk 50 persen masyarakat turun ke 13 persen.

Paling istimewa adalah pemerintahan pasca Reformasi, terutama Gus Dur. Gus Dur sukses membawa ketimpangan pendapatan yang paling baik di sepanjang sejarah Republik. Porsi pendapatan 10 persen orang terkaya anjlok sampai ke 40 persen. Sementara porsi pendapatan 50 persen masyarakat mencapai titik tertingginya di 18 persen dari total pendapatan. Menyamai era Hindia Belanda (tahun 1900).

Pemerintahan Megawati tidak membuat ketimpangan lebih baik, malah sedikit menajam. Masa SBY periode pertama (2004-2010) ketimpangan pendapatan malah melonjak tajam, Sepuluh persen orang terkaya sempat mencapai 49 persen porsi pendapatannya, sementara 50 persen orang kebanyakan anjlok ke 13 persen. Tapi ini diperbaiki di periode keduanya (2010-2014), SBY berhasil sedikit mengurangi ketimpangan pendapatan meskipun tidak signifikan. Sepuluh persen orang terkaya menguasai 44 persen pendapatan, dan 50 persen orang kebanyakan menguasai 16 persen total pendapatan.

Yang sialnya, di ujung Reformasi ini, di masa Pemerintahan Jokowi, ketimpangan kembali menjadi semakin buruk. Porsi 10 persen orang terkaya memang tidak setinggi zaman SBY atau akhir Suharto, pada tahun 2021 mencapai 48 persen. Tapi porsi pendapatan 50 orang kebanyakan di era Jokowi ini sangat rendah hanya 12,4 persen dari total pendapatan. Lebih buruk dari menjelang Proklamasi atau Zaman Hindia Belanda.

Rakyat Jauh dari Sejahtera

Di Indonesia yang sejahtera hanya orang kayanya saja. Sebagai perbandingan. Di Asia Timur, porsi 10 persen orang terkayanya rata-rata hanya menguasai 43 persen pendapatan. Bandingkan dengan Indonesia yang 48 persen. Artinya orang kaya Indonesia lebih banyak menguasai pendapatan nasional daripada orang-orang kaya di negara tetangganya di Asia Timur.

Jangan bermimpi mau menyamai Negeri-Negeri Eropa Utara, yang merupakan contoh terbaik dari Negara Sejahtera. Contohnya di Swedia, porsi pendapatan 10 persen orang terkaya hanya 30 persen dari total pendapatan, dan porsi pendapatan 50 persen orang kebanyakan mencapai 24 persen (dua kali lipat Indonesia!). Artinya yang kaya tidak terlalu kaya, yang miskin juga tidak terlalu miskin. Sangat berkeadilan sosial. Sila Kelima sudah lama terwujud di Swedia, belum terjadi di sini.

Halaman:

Editor: Zahroni Terbit

Tags

Terkini

Korupsi dan Rontoknya Ideologi

Kamis, 1 Juni 2023 | 11:00 WIB

Apa Buktinya Tuan Rumah SEA Games, 'Bermain'?

Senin, 15 Mei 2023 | 23:04 WIB

Buku di Tengah Disrupsi Digital

Senin, 3 April 2023 | 09:35 WIB

Hokky Caraka dan Tiga Presiden

Sabtu, 1 April 2023 | 03:30 WIB

Hokky Caraka dan Tiga Presiden

Sabtu, 1 April 2023 | 03:22 WIB

Ketika Kita Sulit Memisahkan Politik dan Olahraga

Minggu, 26 Maret 2023 | 21:00 WIB

Indonesia Bukan Negara Sejahtera

Jumat, 24 Maret 2023 | 13:05 WIB

Sikap Budaya dan Korupsi

Rabu, 22 Maret 2023 | 16:03 WIB
X