Oleh: Pril Huseno
Salah satu kehebohan publik terkini adalah dalam rangka mencermati “mendadak-meriang”nya PPATK dalam kasus dana “Rp300 triliun.”
Kasus itu memang rada unik. Semula Menkopolhukam Mahfud MD dengan semangat menyebutkan bahwa ada temuan transaksi mencurigakan yang diperkirakan masuk kategori korupsi berupa Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp300 triliun di Kemenkeu, dan datanya berasal dari PPATK. Sebuah lembaga yang khusus menelisik aliran dana yang dipandang mencurigakan dan harus dilakukan penyelidikan.
Baca Juga: Dokter Rayendra dan Jenderal Dudung Peduli Kesehatan dengan Entaskan Stunting di Kota Bogor
Namun belakangan, ketua PPATK Ivan Yustiavandana, menyatakan bahwa kasus itu dianggap bukan korupsi dan masih terus dilakukan penyelidikan bersama-sama Kementerian Keuangan.
Tentu saja “kempes”nya PPATK mengundang pertanyaan banyak kalangan. Terutama mempertanyakan statement Mahfud MD, darimana data korupsi/TPPU “Rp300 triliun” yang beliau maksudkan. Pak Mahfud MD sendiri kiranya perlu memberikan klarifikasi terbuka, agar tidak dituduh menjadi “provokator” dalam kasus tersebut.
Namun lepas dari kontroversi kasus “Rp300 triliun” yang bermula dari terkuaknya harta kekayaan tak wajar pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo yang mencapai Rp56,1 miliar, kiranya perlu menelisik lebih dalam perihal kaitan kasus di atas dengan serangkaian analisa saling keterkaitan antara satu kasus dengan sistem, subsistem dan struktur yang saling tergantung satu sama lain, yang biasa terjadi pada setiap kasus korupsi.
Baca Juga: Istri Mantan Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto Pamer Kemewahan Ikut Jadi Sorotan
Saling keterkaitan itu sendiri terhubung dengan sikap atau budaya birokrasi dan sebagian masyarakat kita yang telah menjadi “permissive” terhadap perilaku koruptif. Sebagaimana sinyalemen Bung Hatta pada 1970an bahwa perilaku korupsi telah meresap ke dalam segala lapisan masyarakat dan menjangkiti berbagai departemen pemerintah.
Malangnya, ternyata budaya Indonesia diketahui sejak lama tidak cukup kuat untuk melawan kecenderungan perilaku korupsi.
Kasus Rafael dan “Rp300 triliun” dipercaya hanya secuil dari bangunan pohon korupsi raksasa yang telah berurat akar cukup dalam, dahan dan ranting serta daun-daun korupsi yang cukup lebat. Malik Ruslan, peneliti LP3ES dan penulis buku “Politik Anti Korupsi di Indonesia ; Gradualitas dan Ambiguitas (2017)” memaparkan secara luas dan mendalam kecenderungan korupsi di Indonesia yang tidak lagi mempunyai episentrum. Tetapi telah merata dan meluas ke seluruh Indonesia.
Baca Juga: Setelah Presiden Soekarno, Kini Gubernur Bali I Wayan Koster Tolak Israel
Pelakunya juga amat beragam, mulai dari pejabat pemerintah, politisi, pengusaha, aparat hukum sendiri, lalu para keluarga tersangka yang bisa terdiri dari para istri, anak, kemenakan, ajudan, bendahara, pendidik, pengacara, dan lain-lain.
Sementara sebab tindak pidana korupsi berasal dari yang terbesar korupsi izin eksplorari SDA, alat kesehatan, pupuk, pengadaan alat kantor, alat pertahanan, simulator SIM, dana pajak, sampai ke pengadaan kitab suci dan masih banyak lagi. Semua jadi obyek tindak pidana korupsi oleh para pelaku. Dari banyaknya kasus korupsi, tidak heran Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling demokratis di Asia tapi juga paling parah tingkat korupsinya.
Artikel Terkait
Diduga Kaki Tangan Rafael Alun, PPATK Blokir Rekening Konsultan Pajak, Begini Praktiknya
PPATK Blokir Rekening Rafael Alun Beserta Anak dan Istrinya
PPATK Sudah Laporkan, Pada 2009 Transaksi Mencurigakan Rp300 Triliun, Menkeu Sri Diam Tak Bertindak
PB KAMI Minta Ketua PPATK dan Ketua KPK Mundur, Kenapa?
Awalnya dari RAT, Lalu Menjalar Hingga KPK dan PPATK Proses Hukum Lalu Blokir Rekening
Sri Mulyani Ngaku Tidak Tahu Soal Transaksi Janggal Rp300 Triliun, Minta PPATK Buka Data