Soal Pelanggaran HAM Masa Lalu, YLBHI: Pernyataan Jokowi Hanya Retorika Kosong dan Ilusi

- Jumat, 13 Januari 2023 | 10:51 WIB
Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo

HARIANTERBIT.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH Se-Indonesia khawatir dan memprediksi bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyampaikan pengakuan, penyesalan, dan jaminan ketidakberulangan terhadap 12 kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) hanyalah ilusi dan berhenti sebagai retorika kosong yang terus diulang.

"YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis," ujar Ketua Umum YLBHI, M Isnur di Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Isnur menilai Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya untuk seolah memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024.

Baca Juga: Otorita IKN: 11 LOI dari Malaysia Bukti Minat Investor Tinggi

"Hal ini dapat kita lihat dalam 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud M.D. kepada Presiden, di mana tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung," jelasnya.

Sejak awal, sambung Isnur, YLBHI dan 18 LBH menyoroti pembentukan TPP HAM yang tidak memiliki dasar hukum yang memadai. Pasal 47 UU 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM Berat melalui ekstra yudisial harus dibentuk melalui Undang-Undang. Jadi mekanisme penyelesaian non yudisial yang hanya berdasar Keputusan Presiden tentu secara legitimasi hukum menjadi patut dipertanyakan kekuatan hukumnya, karena justru bertentangan atau melanggar Undang-Undang;

"Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak Pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi," tandasnya.

Adapun rekam jejak tersebut yakni, hingga hari ini, pemerintah melalui Jaksa Agung tidak menunjukkan keseriusan mengungkap dan menarik pertanggungjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel oleh Kejaksaan Agung, setelah diselesaikannya 12 penyelidikan kasus oleh Komnas HAM.

Isnur mengungkapkan, ada beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang sudah dalam proses persidangan seperti Kasus Paniai (2014), juga dalam berbagai penyelidikan yakni Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Abepura (2000), Pembunuhan Theys Eluay (2001), Pembunuhan Munir (2014), tetapi Jokowi tidak mengakui peristiwa-peristiwa tersebut dan tidak memasukkannya dalam bagian dari upaya penyelesaian.

Baca Juga: Hentikan Kebiasaan Merokok dengan Cara Ini

"Pemerintah terus menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam banyak kebijakan seperti di wilayah Papua maupun saat menghadapi masyarakat yang menggunakan hak asasinya untuk berekspresi termasuk berdemonstrasi di berbagai wilayah untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang inkonstitusional dan melanggar hak warga," jelasnya.

Pernyataan Jokowi, lanjut Isnur, juga tidak diriingi oleh roadmap bagaimana penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan dilakukan. Pengakuan dan penyesalan tanpa diiringi pengungkapan kebenaran dan kejelasan siapa pelaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukumnya justru akan menjadi permasalahan baru.

"Presiden Abdurrahman Wahid dalam periode singkat jabatannya memberikan preseden baik dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat. Ia langsung mencopot Wiranto karena diduga terkait peristiwa Pelanggaran HAM Berat dalam Timor Timur, mendorong penyelesaian kasusnya melalui pembentukan pengadilan ham ad hoc, menghentikan kekerasan di Papua dengan upaya dialog damai yang sejati, serta mendesak dihapusnya Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966," paparnya.

Diketahui, usai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023), Presiden Jokowi mengakui soal adanya 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi.

Halaman:

Editor: Zahroni Terbit

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Indonesia jadi `Markas` Para Penipu Dari China

Senin, 29 Mei 2023 | 12:25 WIB

KPK Catat 371 Pengusaha Terjerat Kasus Korupsi

Senin, 29 Mei 2023 | 11:01 WIB
X