AHY: Pertemuan G20 Harus Jadi Ruang Dialog Pemimpin Negara, Ciptakan Persatuan, Perdamaian dan Kestabilan

- Jumat, 14 Oktober 2022 | 19:03 WIB
Direktur Eksekutif lembaga kajian (think tank) The Yudhoyono Institute Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
Direktur Eksekutif lembaga kajian (think tank) The Yudhoyono Institute Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)

HARIANTERBIT.com - Direktur Eksekutif lembaga kajian (think tank) The Yudhoyono Institute Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berharap pertemuan puncak G20 di Bali pertengahan November nanti bisa menjadi ajang dialog yang substantif bagi para pemimpin negara yang hadir.

"Indonesia dan para anggota G20 lainnya harus mengirimkan pesan yang lebih jernih dan lantang pada dunia bahwa kita menginginkan perdamaian dan stabilitas. Karena itu kita harus bersatu," kata AHY dalam sambutan penutup Roundtable Discussion bertema 'Geo Politik & Keamanan Internasional, Ekonomi Global, dan Krisis Perubahan Iklim' di Jakarta, Kamis 13 Oktober 2022. Forum ini diselenggarakan bersama oleh TYI Indonesia dan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).

Baca Juga: Takut-takuti Rakyat dengan Resesi Global, Sri Mulyani dan Gubernur BI Jangan Jadi Provokator Ekonomi

Forum diskusi yang dihadiri 19 pembicara dari kedua negara, dengan berbagai latar belakang, menyimpulkan bahwa ada tiga masalah utama yang sekarang dihadapi dunia, dan juga berdampak pada kawasan Asia Tenggara.

Pertama, kata AHY, adalah ketidakpastian stabilitas keamanan global.

"Pasca pandemi Covid-19, saat dunia sedang membutuhkan spirit persatuan dan kebersamaan untuk bangkit kembali, perang Rusia - Ukraina justru memperburuk kondisi dunia," tegas AHY, "Dividen perdamaian selama 30 tahun pasca perang dingin tampaknya sudah berlalu."

Baca Juga: Profil Irjen Teddy Minahasa, Kapolda Jatim yang Ditangkap, Diduga Terkait Narkoba

Merujuk pada pengalamannya sebagai perwira operasi pada Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Libanon (UNIFIL), AHY mengingatkan, "Jika ketegangan antar kekuatan tidak dimitigasi dengan baik, miskalkulasi, kesalahan taktikal di lapangan berpotensi mendorong erratic leaders (pemimpin yang tidak terkendali) mengambil langkah-langkah spekulatif yang destruktif. Jangan anggap remeh ancaman penggunaan nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya."

Kedua, tekanan ekonomi dan ancaman resesi global.

AHY mengingatkan, "Jika keamanan global masih belum membaik, lalu berdampak serius pada pasokan gas alam ke negara-negara Eropa, maka ancaman resesi dan krisis energi global akan membayangi ekonomi dunia. Di saat itu, kita semua, bangsa Indonesia, harus bersiap-siap menghadapi tubulensi ekonomi yang lebih berat di tahun 2023 mendatang. Jika nilai tukar Rupiah kian melemah, maka tanggungan bunga dan cicilan utang negara akan semakin berat."

Baca Juga: Rakyat Papua Bersatu Deklarasi Penolakan Lukas Enembe Sebagai Kepala Suku Besar Papua

AHY kembali menekankan soal pentingnya menetapkan prioritas pembangunan yang benar, ”Dalam kondisi ekonomi negara yang lemah saat ini, kemampuan negara negara berkembang untuk membayar utang menjadi semakin terbatas. Apalagi kalau bunga utangnya sangat tinggi. Ruang fiskal menjadi kian terbatas. Kita harus bijak menentukan agenda pembangunan nasional. Jangan sampai kebangkrutan nasional seperti yang dialami Sri Lanka terulang."

Ketiga, komitmen untuk mengatasi perubahan iklim yang melemah

"Krisis perubahan iklim kian memburuk. Ini berpotensi mempengaruhi 10 persen nilai total ekonomi dunia pada tahun 2050. Yang paling terdampak adalah negara-negara Asia karena bertumpu pada agrikultur. Jika kita tidak melakukan apa-apa, ini akan mengurangi 18 persen nilai ekonomi kita. Tetapi jika kita melakukan sesuatu, itu hanya akan mempengaruhi 4 persen," tegas AHY.

Halaman:

Editor: Anugrah Terbit

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Indonesia jadi `Markas` Para Penipu Dari China

Senin, 29 Mei 2023 | 12:25 WIB

KPK Catat 371 Pengusaha Terjerat Kasus Korupsi

Senin, 29 Mei 2023 | 11:01 WIB
X