Sidang Korupsi e-KTP, Ahli Hukum Pidana UI: Ketua Konsorsium Tidak Bertanggungjawab Atas Tindak Pidana Anggota

- Jumat, 30 September 2022 | 08:09 WIB
Sidang dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Isnu Edhy Wijaya dan Husni Fahmi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 29 September 2022.
Sidang dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Isnu Edhy Wijaya dan Husni Fahmi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 29 September 2022.

Lalu, Eva menyampaikan, pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP mengatur tentang penyertaan dalam tindak pidana. Penyertaan ini memiliki tiga bentuk yakni melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan.

"Bentuk 'melakukan' melekat pada jenis penyertaan yang lainnya. Sementara 'menyuruh melakukan' ada pada posisi di satu pihak menyuruh yang lain yang disuruh. Misalnya, pada bentuk diberikan perintah dari atasan ke bawahan. Kalau seseorang diminta oleh jabatan maka yang bertanggung jawab yang memberikan perintah. Orang yang melaksanakan perintah tidak dipidana," kata Eva.

Terkait bentuk 'turut serta' melakukan, Eva menegaskan hal itu harus memiliki tiga syarat. Pertama, adanya kesadaran kerja sama sebagai kesatuan niat untuk melakukan delik. Dalam hal ini, ada kesamaan niat untuk bersama-sama secara sadar melanggar pidana yang sama.

Baca Juga: Robert Priantono Bonosusatya, Jet Pribadi dan Markas Judi Online 200 Meter dari Mabes Polri, Simak Faktanya

"Kedua, kerja sama secara fisik antara berbagai pihak. Ketiga, syaratnya berkepentingan langsung atas hasil nyata tindak pidana," kata Eva.

Tim Penasehat hukum Isnu lantas bertanya, apakah untuk memenuhi 'turut serta' melakukan, harus memenuhi 'meeting of minds' untuk melaksanakan perbuatan pidana?

"Untuk pembuktian biasanya selalu berangkat kesamaan niat atau meeting of minds tadi yang ditandai dalam bentuk komunikasi. Tapi komunikasi ini harus bisa membuktikan adanya kehendak yang sama untuk mewujudkan delik yang sama," ujar Eva.

"Dan saya berpikir keikutsertaan rapat tidak bisa diinterpretasikan secara langsung sebagai meeting of minds. Karena begini, misalnya saya ikut rapat penentuan kurikulum. Itu kan juga rapat tapi belum tentu ada kesatuan niat. Jadi kalau misalkan para peserta sepakat melakukan delik itu harus dibuktikan. Bisa saja, hanya sebagian para peserta itu melakukan komunikasi sepakat melakukan delik," kata Eva.

Baca Juga: IPW Ungkap Peran Robert Priantono Bonosusatya Soal Private Jet, Kapolri Jangan Tutup Mata?

"Jadi, misalnya adanya tuduhan persekongkolan dalam sebuah rapat supaya memenangkan Konsorsium PNRI dengan melakukan penyuapan, harus bisa dibuktikan meeting off minds-nya?" tanya Endar Sumarsono SH.

"Kalau tak ada kesatuan niat meski melakukan rapat tidak bisa. Contohnya, saya rapat dengan Pak Djunaidi soal ketentuan kurikulum. Tapi kami rapat juga untuk kelulusan seorang mahasiswa. Katakanlah, saya diberikan sesuatu oleh mahasiswa untuk meluluskan dia. Saya mengajak rapat Pak Djunaidi untuk penentuan nilai. Nah, kami sepakat untuk meluluskan dia. Tapi pertanyaanya apakah Pak Djunaidi tahu terhadap pemberian mahasiswa itu kepada saya atau tidak. Kalau tidak tahu berarti tidak bisa dikatakan ada kesatuan niat untuk melakukan suap," kata Eva.

"Jadi sebetulnya, upaya memenangkan tender e-KTP itu wajar. Menjadi melanggar hukum kalau para anggota sepakat untuk melakukan suap dan semua memiliki kesatuan niat melakukan itu?" tanda Endar.

"Iya. Maka kalau ada turut serta menyuap artinya adanya kesatuan niat menyuap bersama-sama. Jadi apakah semua peserta harus memenuhi unsur delik, saya kira tidak. Harus ada kerja sama secara fisik untuk mewujudkan delik yang sama," pungkasnya.***

Halaman:

Editor: Anugrah Terbit

Tags

Artikel Terkait

Terkini

KPK Sita Moge, Rumah dan Mobil Rafael Alun

Jumat, 2 Juni 2023 | 12:05 WIB

Sandiaga Uno Siap Jalani Ospek di PPP

Jumat, 2 Juni 2023 | 11:42 WIB

Kembalikan Pancasila ke UUD 1945

Kamis, 1 Juni 2023 | 17:59 WIB
X