Jakarta, HanTer - Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menjelaskan lima langkah yang perlu diperjuangkan oleh DPD RI untuk mewujudkan ekonomi kesejahteraan yang berkeadilan.
Lima hal tersebut adalah bebas dari ketertindasan, bebas dari kebodohan, bebas dari kemiskinan, bebas dari ketimpangan dan bebas dari keterhinaan.
Hal itu disampaikan Ichsanuddin saat menjadi narasumber pada acara Executive Brief dengan tema 'Perekonomian Negara Kesejahteraan Pasal 1, 2 dan 3' yang diselenggarakan DPD RI di Kediaman Ketua DPD RI, kawasan Kuningan, Jakarta, Sabtu (7/5/2022).
Selain Ichsanuddin Noorsy, hadir sebagai narasumber Faisal Basri dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS). Sedangkan analis kebijakan DPD RI Reydonnyzar Moenek bertindak sebagai moderator.
Adapun Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mattalitti, didampingi anggota DPD RI dari Sulawesi Selatan Tamsil Linrung, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir, dan Kepala Biro Sekretariat Pimpinan DPD RI Sanherif Hutagaol.
Terkait konsep tersebut, Ichsanuddin menegaskan, bukan lagi sekadar mencapai negara kesejahteraan, tetapi lebih dari itu, yakni welfare and justice state.
“Kalau ekonomi konstitusi kita tertata rapi, maka konsep itu bisa dijalankan. Desainnya ada. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa menjadi teladan dan dia bukan pengkhianat. Dia bukan kaki tangan asing. Dia jaga rumah tangga bangsanya dengan baik dan tidak dia gadaikan," tegas Ichsanuddin.
Lebih lanjut, disampaikan Inchsanuddin, konsep welfare state sudah ketinggalan zaman, sejak Black Monday pada 25 Agustus 2015. Saat ini, yang terjadi adalah ketimpangan sosial tengah menjadi musuh bersama bagi Barat.
"Ekonomi Barat itu sudah mati. Ekonomi kapitalisme selalu melahirkan masyarakat yang cemas, masyarakat yang tidak pernah ketemu harga dirinya. Maka, saat ini kita butuh mengurainya pada level hulu atau pemikiran mendasar," ujarnya.
Dalam konteks Indonesia, Ichsanuddin menilai jebakan penjajahan dimulai saat terjadinya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). "Kita tak mendapat hak Marshall Plan. Yang dapat itu Belanda. Kita membayar utang kepada Belanda padahal kita tak berutang. Jadi, agresi Belanda itu kita biayai. Tapi, jangan dilihat utangnya saja, tapi lihat mata uangnya. Dalam teori moneter, ketika melihat mata uang, maka kita akan masuk pada persepsi," tutur Ichsanuddin.
Penjajahan kedua terhadap Indonesia, menurut Ichsanuddin, pintu masuknya melalui IMF. "Penjajahan ketiga itu ketika ada kebijakan membebaskan perusahaan asing bebas beroperasi di Indonesia. Konsepsinya jalur moneter atau keuangan dan jalur perdagangan. Indonesia terus-menerus masuk ke dalam jebakan dan didikte," ungkap dia.
Dijelaskannya, pada tahun 1956 Presiden Soekarno membatalkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya, pada tahun 1958 Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi perusahaan asing. Pada saat kebijakan nasionalisasi ini diambil, Ichsanuddin menyebut, saat itu datang perwakilan perusahaan minyak bumi ternama dan menawarkan konsep bagi hasil agar tak dinasionalisasi. "Itulah kali pertama munculnya konsep Kontrak Karya," ujarnya.
Selanjutnya, pada tahun 1967-1968, Ichsanuddin memaparkan, Indonesia kembali dijajah melalui UU PMA (Penanaman Modal Asing). "Latar belakangnya Freeport. Dia mau investasi di Indonesia dengan tiga catatan. Syarat pertama, iklim investasi Indonesia harus kondusif. Tujuannya agar Indonesia harus tunduk pada kekuatan modal internasional. Kedua, Indonesia harus mau memberikan jalan leluasa dan keringanan kepada investor. Ketiga, kalau terjadi perselisihan tidak menggunakan hukum nasional, tapi hukum internasional. Dari sini Indonesia diperas habis-habisan," papar dia.
Dikatakan Inchanuddin, Presiden Joko Widodo saat ini mengulang program deregulasi dan de-birokratisasi pada zaman Soeharto yang notabene kontennya adalah neo-liberalisme.
Artikel Terkait
KONI Pusat Mengadu Ke Ketua DPD RI LaNyalla Terkait Permasalahan di PB Muaythai Indonesia
Ketua DPD RI: Negara Memiliki Tanggung Jawab terhadap Nasib Anak Yatim Piatu
Silaturahmi, Ketua DPD RI - Rizal Ramli Bahas Situasi Kebangsaan
Ketua DPD RI LaNyalla dan Rizal Ramli Bertemu Bahas Situasi Kebangsaan
Ketua DPD RI LaNyalla Mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk Mewaspadai Jebakan Utang Luar Negeri
Teleconference dengan Wakil Ketua Duma Rusia, Ketua DPD RI Minta Perang Dihentikan
Ketua DPD RI Imbau Pemerintah Antisipasi Sanksi Ekonomi Uni Eropa Terhadap Rusia
Ketua DPD RI Bagi Tips Sukses ke Artis Edwin Bejo, Kuncinya Tahajud Tak Putus dan Dhuha
Ketua DPD RI LaNyalla Bahas Ekonomi Pemerataan yang Menyejahterakan dengan Mengundang Para Pakar Ekonomi
Melalui Ajang Executive Brief DPD RI, Ekonom Anthony Budiawan Sebut Indonesia Bangkrut Tanpa Daerah